Diposkan pada Catatan

I Want to be Writer

I want to be writer.

Apakah ini adalah cita-citaku?

Apakah ini hanya bualan demi kesenanganku saja?

Apakah ini menjadi landasan penting untuk berbuat lebih baik lagi; terus belajar?

Sebelum itu, izinkan aku untuk menceritakan lebih detail alasan aku bisa kecemplung di dunia kepenulisan.

Dari kecil, aku sudah suka membaca buku, dari dongeng-dongeng, maupun kumpulan cerita yang bergambar. Seketika pula imajiku bergerak bebas sesuai yang kubaca. Aku bisa dengan jelas membayangkan kejadian cerita yang tengah kubaca. Dan itu adalah keajaiban yang menyenangkan.

Seiring berkembangnya usiaku, perlahan aku bisa memilih bahan yang kubaca, dari cerpen bahkan kutipan novel yang ada di buku pelajaran Bahasa Indonesia. Aku semakin antusias. Membaca dengan lamat-lamat, tak jarang wajahku terlihat kesal karena akhir ceritanya kurang kuinginkan. Jadilah aku yang sering mengotak-atik cerita. Mencoba menulis cerita dengan ide serupa namun akhir yang kuinginkan. Lagi, lagi, lagi aku menulis cerita yang kuinginkan.

Kemudian, aku merambah membaca novel. Novel pertama yang kutemukan di rak abang. Novel dengan judul Liar dengan penulis Tessa Intanya. Novel itu diadaptasi ke sebuah film dengan judul yang sama. Gaya bahasa remaja kekinian meski di beberapa dialog ada celetukan yang kurang baik. Namun berhasil menghanyutkan diriku saat membacanya.

Dari situ aku mulai mengoleksi beberapa novel, hingga aku mulai mengambil risiko untuk membuat novel yang dipelajari langkah-langkahnya dari beberapa novel yang kupelajari. Cara penyampaian cerita yang kupelajari dari novel Hujan karangan Tere Liye. Cara membuat prolog dan epilognya juga banyak hal lainnya.

Aku menulis dengan keinginanku sendiri. Telah menetap dalam hatiku. Terpatri dalam benak dan setiap langkahku. Bualan kejeritan hatiku di saat tiada orang yang mampu kuajak cerita. Kesenangan yang kudapatkan karena bahagiaku berbagi cerita pada semua orang.

I want to be writer.

Diposkan pada Catatan

Progres WB

Kalau berbicara mengenai WB (Writer’s Block) atau istilah yang kuprakarsai adalah Stuck in The First, harus berjalan mundur melewati tahun-tahun sebelumnya. Pertama kalinya aku suka menulis cerita, pertama kali pula aku mendapatkan WB yang lumayan lama, hampir dua tahunan.

Rasanya hampa, otakku selalu bekerja pada imajinasi yang tak kuhindarkan. Langkah tiap langkah terus menghantui imaji itu. Namun aku membiarkannya terus meluap tanpa kutorehkan dalam tulisan. Sombong sekali diriku, hahahaha.

Hingga pada suatu hari, aku mulai kembali menulis, tertantang dengan tema cerita di sekolah. Awalnya aku menulis dengan lancar, begitu deras imajinasi yang menghunjamku. Tanganku tak mau berhenti, lagi dan lagi ingin kutulis rangkaian aksara. Namun, setelah selesai, ide ceritanya biasa. Kisah cinta yang dipaksakan berlogika.

Mengingat cerita yang kutulis tidak begitu menarik. Aku kembali berkutat menekuni dunia kepenulisan, bahkan sampai aku jatuh cinta. Aku terus menulis, mencoba belajar dari para senior yang sekiranya mumpuni dalam hal itu.

Aku pun berhasil membuat tiga novel hasil belajarku. Tapi kesemuanya masih berantakan, baik segi alur maupun gaya cerita. Pernah di saat novel kedua, aku terkena WB dengan alasan yang payah. Ya, aku sempat WB bukan karena Stuck in The First, tapi Stuck in The Middle. Ah, aku berkali-kali menghela napas perlahan, uring-uringan bagai ikan asin yang dijemur. Bagaimana aku baper di tengah cerita lantaran cerita yang sedang kubuat? Penulis yang payah. Huh!

Tapi aku kembali bangkit, meski terseok-seok, tertatih-tatih melanjutkannya. Menguatkan hati berkali-kali bagai badai yang terus menerjang tanpa ampun. Astaga, kenapa aku ikut terbawa perasaan seperti ini? Dengan perasaan yang meradang itu, aku pun menyelesaikannya.

Mungkin saat kalian membaca kisah WB-ku ini, terbilang mudah progresnya. Namun, jangan salah sangka dulu. Progres WB-ku masih terus berlanjut bahkan sampai sekarang, bagaimana aku bisa aktif kembali menulis tanpa WB hadir lagi menggandrungi semangatku? Pertama-tama aku menulis dan menulis sembari belajar dengan para senior yang mumpuni di bidang kepenulisan, tidak perlu orang yang sudah banyak menghasilkan buku untuk kita dekatkan, cukup dengan orang yang rajin menulis di setiap harinya untuk kita dekatkan mendapatkan ilmunya. Kedua, teruslah membaca yang sekiranya membuatmu terpacu ingin membuat cerita serupa dengan gaya bahasa sendiri. Teruslah belajar mencari diksi yang lebih baik. Ah, dan yang paling penting, ikut sertalah dirimu terjun dalam cerita yang kaubuat. Perlahan tapi pasti, itu membuatmu semakin terus mendedikasikan diri untuk selalu menulis dalam kondisi apapun.

Salam pejuang WB~