Musim panas kini telah berganti musim dingin Bunga yang kaubanggakan kini telah beterbangan Langit kelabu masih menggantung di atas kita Siap meluncurkan deraian air yang tak terelakkan
Aku di sini Masih mengamati kepergianmu Padahal aku masih ingat senyummu Hangatkan hatiku yang buatku percaya Bahwa kamu tak pernah melepasku
Nyatanya, aku kembali ditinggalkan Bersamaan hilangnya kehangatan yang kuterima Hingga terkikisnya rasa percaya Dan hujan pun meluncur deras tanpa bisa kucegah
Catatan: Cerita ini mengandung thriller, tidak untuk ditiru, tetapi untuk diresapi. Silakan membaca.
Semua orang pasti memiliki impian. Bahkan sedari kecil, mereka disuguhi dengan dunia khayalan yang mereka anggap adalah impian. Tak heran, mengejar impian menjadi sesuatu yang harus dilakukan selama hidup mereka. Tak ada kata menyerah, meraih dengan segala cara akan mereka lakukan.
Beranjak dewasa, impian menjadi obsesi mereka. Tak berhasil kejar impian adalah pecundang yang tak berhak lagi hidup di dunia ini. Mereka yang berhasil mengejar impian dengan segala cara akan diagung-agungkan. Padahal impiannya tak jauh dari uang.
Hidup makmur berlimpah uang bisa dibilang sudah sukses mengejar impian. Mereka akan leha-leha dan menindas yang lemas, bahkan meludahi orang-orang pecundang.
Apakah impian memang hanya didedikasi untuk mengejar uang yang berlimpah?
Ketika ada seorang anak merenungi impiannya yang sederha, yakni ingin menjadi penulis. Semua orang menertawakannya, mencemoohnya. “Bagaimana bisa menjadi seorang penulis adalah impian? Konyol, dia mau makan apa? Dengan imajinasi-imajinasi yang selalu dibuatnya?”
Saat anak tersebut beranjak dewasa, hidupnya masih saja pas-pasan. Makan dengan pas. Ngontrak rumah dengan pas. Sekolah dengan biaya pas. Gaya hidup dengan pas. Tapi impiannya menjadi penulis tinggal selangkah lagi.
Anak tersebut semakin rajin berkarya. Lihat! Semua dinding kamarnya dilabeli footnote outline cerita yang dibuatnya. Orang tuanya sudah malas menasihatinya hingga berbusa untuk mencari profesi yang layak dan menghasilkan uang yang berlimpah.
Saat anak sudah menerbitkan karyanya dengan uang tabungannya, orang tuanya meledak. “Hey, anak kurang ajar. Sudah dibiarkan sekolah tinggi tapi ini balasanmu? Profesimu hanya menghabis-habiskan uang. Bagaimana bisa kamu melakukan ini? Hidup kita susah ditambah susah.”
Sang anak terdiam, tanpa mata yang bercahaya, sang anak mengambil buku terbitannya. Dia berjalan menyusuri rumah para tetangga yang mengagung-agungkan anaknya telah berhasil menggapai impian. Tanpa disadari, dia sudah berada di jembatan kali. Tanpa ekspresi dia menceburkan bukunya dan dirinya. Impiannya pun ikut terhanyut bersama derasnya air kali yang hampir meluap. Dalam gumamnya dia berkata, “Terima kasih telah membiarkanku hidup dan mengejar impianku.”
Beberapa hari kemudian, ditemukan mayat di aliran kali tersebut tengah memeluk sebuah buku. Karena warga begitu terkejut dan banyak yang mengabadikannya lewat media sosial, pihak berwajib pun memutuskan datang ke TKP. Saat polisi datang, polisi mengamati buku tersebut, barangkali memang ada petunjuk atas kematian korban. Penemuan tersebut menjadi viral dan banyak orang yang tertarik membaca buku tersebut, ya barangkali mereka menemukan spekulasi kematian si empunya.
Sayang, buku itu hanya dibolak-balik saja tanpa dipahami isinya. Mereka pun mendengus, “Siapa pula yang akan membaca buku berjudul Impian? Buku khayalan yang tak ada ilmunya.”
Orang-orang yang minat dengan viral tersebut mulai kesal karena merasa waktu mereka terbuang sia-sia hanya karena sebuah buku khayalan yang dipeluk begitu erat oleh si mayat.
Tak ada yang tahu, di epilog buku itu terdapat satu kalimat peninggalan jejak si mayat yang juga sebagai si penulis buku Impian. “Akan lebih baik jika impian tak melulu di sejajarkan dengan uang agar hidup sang pemimpi bukanlah omong kosong.”
Kelak jadilah anak yang pandai dan taat agama Suatu saat duniamu akan cerah Tak ada derita yang kamu pikul Orang-orang akan selalu ada di sisimu
Nyatanya, itu hanya omongan belaka Orang-orang menertawakanmu Mencibirmu dengan suara yang direndahkan Tak ada sahutan yang mendamaikan Kamu hanya lelucon mereka:
Hei, dia dulu bodoh dan salat pun bolong-bolong Lihat, dia berubah! Kesurupan apa dia?
Ssstt, jangan dekat-dekat Nanti kamu kesurupan dia Nanti kamu tak asik lagi Lebih baik bodoh dan bermaksiat saja Itu lebih nikmat
Dera Luka Eps. 2
Berada di kegelapan sangatlah sesak Ketika ada cahaya yang datang padaku, aku akan berusaha menggapainya untuk kembali berjalan di dunia yang bercahaya
Izinkan aku berusaha bangkit Mengeluarkan diri yang telah lama berada di kegelapan Untuk tetap bisa bersisian denganmu
Saat aku kembali membuka diri Bersikap seakrab mungkin denganmu Justru yang kudapat adalah keasingan Aku terasing olehmu Aku kembali bungkam
Masa bodo, aku tak lagi membuka diri Cukup sekadarnya aku bersosialisasi Biarkan aku kembali ke kegelapan Meski sesak, aku akan berusaha bernapas Dan akan kuabaikan cahaya-cahaya yang berdatangan
Terima kasih atas sikapmu yang mengasingkanku Kini, aku tak mampu mengeluarkan emosiku pada siapapun