Diposkan pada Catatan

Hijrah

Tak habis kata dalam membahas hijrah. Begitu banyak hijrah yang akan tersampaikan. Namun terlihat klise bagi beberapa orang. Sudah kewajibannya kok baru sekarang sadarnya? Mungkin begitu kesimpulannya.

Aku tidak akan membahas panjang lebar mengenai kapan aku mulai memutuskan berhijab? Saat itu tak sengaja kutemukan beberapa orang yang parasnya semakin cantik saat memakai hijab, aku mulai mengingkannya seperti mereka dan memutuskan berhijab ketika masuk SMK.

Ah, ternyata bukan kecantikannya saja. Dalam beberapa hal misalnya, saat emosi mulai kalut, lidahku kelu mengucapkan sembarang kata. Tertahan oleh hijab yang kukenakan. Ah, buat apa aku berhijab namun perkataan masih sampah usang?

Lambat laun tapi pasti. Karakterku banyak yang berubah. Aku semakin mencoba menahan emosi, meskipun terkadang khilaf karena kalut. Menyusahkan sekali mengontrolnya. Bagai api yang meronta ingin menyambar sekitarnya.

Dan hatiku mulai tertata. Benar kata pepatah lama, semakin sering kau patah hati, maka semakin dewasa cara menata hati. Mungkin itu berlaku padaku sekarang. Terlebih karena patah hati yang selalu kudapat, aku menyadari satu hal yang membuatku semakin merenung kembali untuk jatuh cinta sebelum nikah. Hay, betapa jahatnya aku memberikan cinta yang seharusnya untuk suamiku kelak malah kubagi dengan orang yang belum jelas menjadi suamiku.

Tapi, aku masih wanita lemah dengan segala kebaperan. Masih belum bisa menahan hati untuk tidak iri maupun dengki. Masih belum bisa sesabar seperti wanita sholehah lainnya. Masih belum bisa memeluk kesedihan. Hatiku masih berdebu, dan aku masih harus membersihkannya.

Diposkan pada Catatan

Cinta Gila

Ada seseorang yang amat mencintai tumbuhan. Setiap hari ia rawat dengan penuh kasih sayang, tak ia biarkan sedetik pun terkoceh. Saking sayangnya ia beri pupuk tiap hari. Saking cintanya ia beri air dengan banyak. Ia merasa senang tumbuhannya tidak sedikit pun luput dari perhatiannya.

Tanpa sadar, tumbuhan itu semakin menunduk. Bukan malu dengan orang yang mencintainya. Namun ia tidak mampu menahan semua cinta orang itu. Tumbuhan itu sudah di ujung hidupnya, tenaganya terkuras menyerap makanan yang berlebihan akibat orang itu memberinya makan dalam jumlah besar.

Orang itu masih senang melakukan aktivitas menyakiti tumbuhannya. Padahal ia sadar, tumbuhannya melayu, siap mati. Hingga beberapa hari kemudian, orang itu menemukan tumbuhannya mati mengenaskan. Ia meronta, menyalahkan sinar matahari, udara, pot, tanah, dan banyak hal. Kegilaannya menjadi sangat menyeramkan. Raungannya menggelegar bagai orang gila. Kecintaannya tanpa kadar membuat dia tumbuh gila.