Diposkan pada Catatan

Jika Uang Memang Segalanya

Jika uang memang segalanya, seharusnya aku bisa membeli kebahagiaanku.

Kata ibu, jika tidak punya uang, maka kita akan mati. Aku memercayai perkataan ibu. Setiap aku mengumpulkan botol-botol bekas, aku selalu berhitung berapa uang yang kudapatkan. Kata ibu, aku tak boleh pulang tanpa uang. Maka dari itu, aku selalu berusaha pulang dengan membawa uang dari pengepul botol-botol bekas.

Sebenarnya aku rindu bersekolah seperti teman-temanku yang lain. Aku ingin menggapai cita-citaku. Tetapi kata ibu, sekolah hanya menghabiskan uang. Jika aku sekolah, maka adik-adikku tidak akan makan. Aku pun harus mengubur dalam-dalam mimpiku itu. Aku tak boleh mengecewakan ibu karena ibu sangat bergantung denganku.

Bahkan saat aku sakit, aku harus tetap berangkat mencari botol-botol bekas. Kalaupun tak kuat untuk mencarinya, aku akan duduk di tepi jalan, mengamati orang-orang yang memakai baju bagus dan berjalan menghimpit mereka. Dengan begitu, aku mudah mendapatkan dompet mereka. Pastinya ibu tidak akan kecewa saat aku pulang nanti. Baginya, uang adalah segalanya.

Namun, sayang, kali ini aku tidak seberuntung itu. Orang yang kuambil dompetnya ternyata menyadari kelakuanku. Aku diteriaki olehnya dengan sebutan yang tak kumengerti “Copet!”. Tetapi entah kenapa, intuisiku mengatakan aku harus berlari secepat mungkin. Maka aku berlari di antara deranya menahan hebat pusing di kepalaku. Tanpa kusadari, aku sedang berhenti di tengah jalan. Bahkan, suara klakson yang memekakkan telinga, kuabaikan. Dan tanpa kusadari aku merasakan sesuatu yang hangat menyelimuti tubuhku.

“Ibu, maaf, aku tidak bisa pulang membawa uang.”

Diposkan pada Catatan

Nikah Itu Berapa Persen Logika dan Cinta?

Colorful Doodle Life Quotes

Untuk wanita yang belum merasakan pernikahan seperti aku ini, tentunya menjadi hal yang nyeleneh saat aku membahas pernikahan maupun rumah tangga.

Berawal dari seorang kawan yang bertanya, “Menikah itu berapa persen logika dan berapa persen cinta?”

Aku pastikan setiap orang yang akan menjawab itu pun beraneka ragam.

Entah apakah jawaban kamu juga sama sepertiku?

Menurutku untuk menikah diperlukan 70% logika dan 30% cinta. Kenapa? Alasannya sederhana, untuk menikah yang sakral tentunya diperlukan logika bagaimana kesiapan mental dan materi seseorang dalam membangun rumah tangga. Bisa dikatakan bagaimana komitmennya dalam menjaga rumah tangga dan pernikahannya hingga akhir hayat. Meskipun dilandasi dengan cinta yang sedikit, tetapi kita tak boleh melupakan hadirnya cinta karena terbiasa bersama, bukan? Nah, bersama dalam waktu yang lama, saling berkumpul berdua bersama, meluangkan waktu berdua untuk bercerita banyak hal, tentunya cinta akan tumbuh dengan sendirinya.

Sayangnya, setiap pernikahan tidak semulus yang diharapkan. Kita bisa melihat dengan jelas angka perceraian yang semakin meninggi. Bagi aku dan teman-teman jomlo yang lain mungkin masih dihantui rasa cemas akan perceraian. Namun, yang perlu diingat adalah perceraian bukan karena kesalahan logika dan cinta yang berbeda persen, melainkan karena goyahnya komitmen yang dilakukan.

Nikah itu bukan soal mengubah status, tetapi soal aku dan kamu menjadi kita. Bukan soal aku yang harus memahamimu, pun sebaliknya. Tetapi soal aku dan kamu yang saling memahami.

Aku hanyalah penulis yang sedang belajar mendewasakan diri dengan persoalan kehidupan yang harus dihadapi bukan ditinggalkan.