Diposkan pada Catatan

Jika Uang Memang Segalanya

Jika uang memang segalanya, seharusnya aku bisa membeli kebahagiaanku.

Kata ibu, jika tidak punya uang, maka kita akan mati. Aku memercayai perkataan ibu. Setiap aku mengumpulkan botol-botol bekas, aku selalu berhitung berapa uang yang kudapatkan. Kata ibu, aku tak boleh pulang tanpa uang. Maka dari itu, aku selalu berusaha pulang dengan membawa uang dari pengepul botol-botol bekas.

Sebenarnya aku rindu bersekolah seperti teman-temanku yang lain. Aku ingin menggapai cita-citaku. Tetapi kata ibu, sekolah hanya menghabiskan uang. Jika aku sekolah, maka adik-adikku tidak akan makan. Aku pun harus mengubur dalam-dalam mimpiku itu. Aku tak boleh mengecewakan ibu karena ibu sangat bergantung denganku.

Bahkan saat aku sakit, aku harus tetap berangkat mencari botol-botol bekas. Kalaupun tak kuat untuk mencarinya, aku akan duduk di tepi jalan, mengamati orang-orang yang memakai baju bagus dan berjalan menghimpit mereka. Dengan begitu, aku mudah mendapatkan dompet mereka. Pastinya ibu tidak akan kecewa saat aku pulang nanti. Baginya, uang adalah segalanya.

Namun, sayang, kali ini aku tidak seberuntung itu. Orang yang kuambil dompetnya ternyata menyadari kelakuanku. Aku diteriaki olehnya dengan sebutan yang tak kumengerti “Copet!”. Tetapi entah kenapa, intuisiku mengatakan aku harus berlari secepat mungkin. Maka aku berlari di antara deranya menahan hebat pusing di kepalaku. Tanpa kusadari, aku sedang berhenti di tengah jalan. Bahkan, suara klakson yang memekakkan telinga, kuabaikan. Dan tanpa kusadari aku merasakan sesuatu yang hangat menyelimuti tubuhku.

“Ibu, maaf, aku tidak bisa pulang membawa uang.”

Penulis:

Wanita sederhana yang menyukai sastra dan gim. Selain itu, juga menjadi anggota aktif dari One Day One Post. Bisa dihubungi melalui IG: @dyah_dita. Salam literasi.

2 tanggapan untuk “Jika Uang Memang Segalanya

Tinggalkan komentar